Artikel ini dilansir dari fachrihelmanto.com. Sejak diperkenalkannya konsep Merdeka Belajar oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, pada tahun 2019, pendidikan di Indonesia telah mengalami pergeseran paradigma yang signifikan. Konsep ini bertujuan untuk memberikan kebebasan lebih besar kepada guru dan siswa dalam menentukan arah pembelajaran mereka. Namun, setelah beberapa tahun penerapannya, muncul pertanyaan penting: sudahkah Merdeka Belajar mencapai harapan yang diinginkan?
Saya melihat Merdeka Belajar sebagai sebuah terobosan yang mengadopsi prinsip-prinsip humaniora, terutama dalam teori pendidikan kritis yang diusulkan oleh Paulo Freire. Freire, dalam karyanya “Pedagogy of the Oppressed,” menekankan pentingnya pendidikan yang memerdekakan, di mana siswa tidak hanya menjadi objek pasif, tetapi subjek aktif dalam proses pembelajaran. Teori ini menekankan dialog dan refleksi sebagai metode untuk mencapai kesadaran kritis dan transformasi sosial.
Dalam konteks Merdeka Belajar, kita bisa melihat adanya upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip ini. Dengan memberikan otonomi lebih kepada guru dalam menentukan kurikulum, serta mendorong siswa untuk belajar secara mandiri dan kreatif, konsep ini seolah mencerminkan filosofi pendidikan Freirean. Namun, seberapa jauh realisasi dari konsep ini telah berhasil dalam praktik?
Antara Idealisme dan Realita
Secara ideal, Merdeka Belajar diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah dalam sistem pendidikan konvensional, seperti kurikulum yang terlalu kaku dan pembelajaran yang berfokus pada hafalan. Namun, dalam realitasnya, implementasi konsep ini masih menemui berbagai tantangan.
Pertama, tidak semua guru siap untuk mengadopsi pendekatan ini. Banyak guru yang masih terbiasa dengan metode pengajaran tradisional dan mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan inovatif. Tanpa pelatihan dan dukungan yang memadai, guru-guru ini mungkin mengalami kebingungan dalam menerapkan Merdeka Belajar secara efektif.
Kedua, kebebasan yang diberikan kepada siswa juga dapat menjadi pedang bermata dua. Sementara ada siswa yang mampu mengambil inisiatif dan belajar secara mandiri, ada juga yang membutuhkan struktur dan bimbingan yang lebih ketat. Tanpa panduan yang jelas, kebebasan ini bisa menyebabkan ketidakteraturan dalam proses pembelajaran.
Untuk menjawab pertanyaan apakah Merdeka Belajar telah sesuai dengan harapan, kita perlu melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas. Dalam teori pendidikan kritis, keberhasilan pendidikan tidak hanya diukur dari hasil akademik semata, tetapi juga dari bagaimana pendidikan tersebut mampu memerdekakan pikiran dan membentuk individu yang kritis.
Jika dilihat dari perspektif ini, Merdeka Belajar telah memberikan landasan yang baik untuk memulai perubahan. Namun, untuk benar-benar mencapai harapan tersebut, perlu ada keseimbangan antara kebebasan dan struktur, antara otonomi dan tanggung jawab. Dengan kata lain, Merdeka Belajar harus diimbangi dengan kebijakan yang mendukung pengembangan kompetensi guru dan pemberian bimbingan yang tepat bagi siswa.
Ke Mana Kita Melangkah?
Pada akhirnya, Merdeka Belajar adalah sebuah langkah maju dalam upaya memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Namun, seperti semua perubahan besar, konsep ini membutuhkan waktu untuk benar-benar bisa diimplementasikan secara efektif. Harapan besar yang ditumpukan pada Merdeka Belajar harus diiringi dengan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, guru, dan masyarakat, untuk terus berinovasi dan menyesuaikan diri dengan dinamika yang ada.
Sebagai seorang akademisi, saya melihat potensi besar dari konsep ini untuk membawa perubahan positif dalam dunia pendidikan. Namun, kita perlu terus mengkritisi dan mengevaluasi pelaksanaannya, agar Merdeka Belajar tidak hanya menjadi slogan, tetapi juga menjadi realitas yang dapat dirasakan oleh seluruh siswa di Indonesia.
Refleksi untuk Masa Depan
Merdeka Belajar adalah sebuah inisiatif yang berani dan penuh harapan. Namun, perjalanan menuju realisasi yang sesuai harapan masih panjang. Sebagai mahasiswa doktoral, saya mengajak semua pihak untuk terus merenungkan dan berkolaborasi dalam memastikan bahwa konsep ini tidak hanya menjadi wacana, tetapi benar-benar membawa perubahan nyata dalam pendidikan kita. Sudahkah Merdeka Belajar sesuai harapan? Jawabannya ada di tangan kita semua.