“Manusia adalah aktor yang sedang bermain di atas panggung sosial, menyusun dirinya sesuai peran yang dituntut.”
— Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life

Sabtu siang di Gedung Pertunjukan Wayang Orang Bharata, pukul 13.30, ruang pertunjukan disesaki generasi baru penonton yang mungkin tak semuanya datang karena cinta pada teater, tapi karena desas-desus: ada kisah cinta, komedi absurd, bahkan parade busana ala SCBD (Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok) dalam satu paket pertunjukan. Judulnya Lintas Waktu, dipentaskan oleh Teater Ragantari Tim 1 di bawah arahan Dr. Deden Haerudin dan Elvira Putri. Sekilas terdengar ringan, nyaris konyol—tapi justru di sinilah ruang kritik dibuka: bagaimana panggung memainkan realitas, mimpi, dan kesadaran dalam satu ruang dramaturgi kontemporer.
Goffman dalam The Presentation of Self menyatakan bahwa individu dalam kehidupan sosial seperti aktor yang memainkan peran di atas panggung. Dalam “Lintas Waktu”, panggung itu literal dan metaforis sekaligus—karena para tokoh tidak hanya bermain sebagai pangeran dan peri, tapi juga dipertunjukkan dalam ruang waktu yang melintasi dua dunia: dunia fiktif dalam novel dan dunia kontemporer SCBD yang sedang hits.
Uta, sang pangeran, tidak hanya mengalami culture shock, tapi juga pergeseran panggung identitas. Ia dilempar dari ruang sosial yang mengharuskannya menjadi maskulin-heroik di dunia Jawa kuno, ke ruang publik urban yang penuh penilaian visual—di mana ketampanan bisa menjelma modal sosial instan. Di kawasan seperti sekitar Stasiun BNI City dan Terowongan Kendal, anak-anak muda mempopulerkan istilah “Citayam Fashion Week” bukan hanya sebagai gaya, tapi perlawanan terhadap homogenisasi estetika kota. Ini membuat Uta, yang datang dari budaya feodal, menjadi ikon viral tanpa diminta.
Dan justru di benturan itulah Goffman berbicara. Ketika Uta “terlempar” ke pusat urban muda penuh ekspresi bebas, ia bukan lagi pangeran dalam arti aristokrasi, tapi simbol eksotik. Realitasnya telah direduksi menjadi performa sosial.
Pertunjukan ini cerdas memilih Stasiun Manggarai sebagai ruang dramatik utama. Manggarai bukan sembarang stasiun—ia adalah titik temu dan simpang segala arah, tempat manusia berpindah, tersesat, menunggu, dan kadang kembali. Maka ketika Uta muncul di Manggarai, ia secara simbolik sedang melintasi bukan hanya ruang waktu, tapi juga ruang pilihan eksistensial: antara menjadi dirinya yang lama atau menyesuaikan diri menjadi tubuh sosial masa kini.
Uta menjadi tubuh yang gelagapan mencari makna, dan ketika ia berjumpa Ocid, seorang gadis muda yang tengah menanti sosok model untuk proyek desainnya, Uta menemukan celah: cinta sebagai jalan adaptasi. Cinta sebagai pintu identitas baru.
Plato lewat alegori Gua menyatakan bahwa manusia hanya melihat bayangan dari realitas. Dalam pertunjukan ini, bayangan itu berlapis: novel yang dibaca pasangan kekasih di akhir pertunjukan ternyata mengandung seluruh kisah Uta dan Ocid. Maka dunia kerajaan, peri Haluwati, stasiun Manggarai, hingga konflik dan kematian Ocid adalah refleksi dari dunia yang dibayangkan oleh pembaca, dan sekaligus sebaliknya—kisah dalam novel mencerminkan sesuatu yang lebih dalam dari realitas mereka sendiri.
Kehadiran sepasang kekasih yang membaca novel justru di bagian penutup pertunjukan membuka dimensi reflektif. Sepasang kekasih itu bukan hanya pembaca pasif, tapi aktor laten yang secara tak sadar menghidupkan kembali konflik, cinta, dan tragedi Uta–Ocid melalui imajinasi mereka. Dua sejoli itu adalah penonton yang menyatu dalam panggung.
Freud menyodorkan kacamata lain, yakni cinta Uta bukan sekadar naratif. Cinta versi Uta adalah sublimasi dorongan purba—hasrat yang menemukan saluran baru dalam dunia modern. Ketika Ocid dibunuh oleh prajurit yang ikut melintasi waktu, dunia Uta kehilangan poros. Uta kehilangan objek transfer kasihnya, dan akhirnya memilih bunuh diri. Freud menyebut ini sebagai dorongan thanatos, dorongan menuju kehampaan.
Namun pertunjukan tidak berakhir di sana. Dalam akhir yang subtil, Uta dan Ocid “terlahir kembali” sebagai pasangan pembaca novel itu sendiri. Freud barangkali akan menyebut ini sebagai manifestasi dari ketakutan kita yang terdalam akan kehilangan. Reinkarnasi bukan tentang hidup kembali, tapi tentang melawan keterputusan.
Salah satu kekuatan mencolok dalam pementasan ini adalah penggunaan tari massal (mob) sebagai penggerak narasi. Ketika Uta tiba di dunia masa kini, tubuh-tubuh para pengagum hadir dalam koreografi padat yang membentuk ritme kekaguman, sekaligus kekacauan sosial. Ini bukan tari untuk keindahan semata, melainkan pernyataan ruang, dominasi, dan absurditas ketampanan sebagai komoditas.
Teknik pertarungan antar prajurit kerajaan pun dipilih lewat tari berkarakter, bukan gerak realistis. Perkelahian dalam format koreografi ini menjadi representasi waktu: bahwa tubuh mereka masih membawa kode budaya kuno, bahkan saat mereka terjebak dalam dunia modern. Ini pilihan artistik yang jitu, yakni tidak menyajikan kekerasan mentah, tapi mengungkapkan nilai dan etika tubuh dalam perang budaya.
Citayam Fashion Week, yang dirujuk secara eksplisit dan visual, bukan hanya latar—tapi kritik sosial itu sendiri. Kawasan Sudirman yang didominasi korporat dan pekerja kantoran tiba-tiba diinvasi anak muda dari Citayam, Depok, dan Bojonggede. Ini benturan kelas, benturan gaya, dan penciptaan ruang tandingan.
Uta, si pangeran klasik, dilempar ke ruang ini dan tiba-tiba harus “ikut gaya.” Para gadis mengejarnya, bukan karena status kebangsawanan, tapi karena estetika visual. Inilah titik sindiran: bahwa hari ini, tubuh lebih cepat dikenal ketimbang ide.
Kehadiran sepasang kekasih di akhir pertunjukan sebagai pembaca novel membuat panggung tak pernah benar-benar ditutup. Mereka menatap satu sama lain dengan tatapan yang ambigu: antara sadar bahwa mereka adalah Uta dan Ocid atau hanya merasa terhubung dengan narasi itu secara emosional. Pertunjukan ini tidak memaksa akhir. Pertunjukan tipe akhiran menggantung, sebagai refleksi yang membuka ruang diskusi pasca-pertunjukan.
“Lintas Waktu” menyajikan pertunjukan yang unik dalam banyak aspek: keberanian tema, kejenakaan yang subtil, percampuran zaman, hingga keberhasilan menyentuh filsafat eksistensial dengan kemasan pop yang tidak sok tahu. Ia menyentil dengan luwes, memikat tanpa menjebak, dan menyegarkan tanpa merasa harus mendikte.
“Kadang, satu-satunya yang lebih menyesatkan dari mesin waktu adalah hati manusia yang ingin kembali.”
Akhir kata, pementasan ini adalah TONTONAN yang MENYEGARKAN. Pementasan yang berani menyelami ruang sosial, budaya, dan psikologis dengan pendekatan yang cair namun tajam. Bagi penonton muda maupun penikmat teater kawakan, Lintas Waktu memberi sesuatu untuk direnungkan—dan bahkan mungkin, untuk dikenang. (Yabui)