Sastra dan Budaya Literasi di Era Digital

Dunia pada beberapa dekade terakhir mengalami perkembangan teknologi digital yang telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara kita mengonsumsi dan memproduksi sastra. Era digital membawa perubahan signifikan dalam budaya literasi, memberikan peluang baru sekaligus tantangan yang kompleks.

Salah satu perubahan terbesar adalah bagaimana sastra diakses dan didistribusikan. Buku-buku dalam bentuk fisik memang masih ada, tetapi e-book dan platform daring telah memberikan kemudahan akses kepada ribuan bahkan lebih judul karya sastra. Ini membuka peluang bagi lebih banyak orang untuk mengakses karya sastra, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil yang mobilitasnya fisiknya terbatas.

Kemudahan akibat perkembangan teknologi ini tidak hanya dirasakan oleh para pembaca sastra. Kehadiran platform seperti Wattpad dan Medium telah mengubah cara penulis berbagi karya mereka. Penulis pemula dapat mempublikasikan cerita mereka tanpa harus melalui penerbit tradisional, dan langsung mendapatkan umpan balik dari pembaca. Ini menciptakan ekosistem di mana penulis dan pembaca memiliki interaksi yang lebih dinamis dan langsung.

Interaksi dinamis dan langsung antara penulis sastra dan pembaca tersebut, mendorong munculnya genre dan format baru dari karya sastra. Era digital membuat cerita interaktif dimungkinkan, yang mana pembaca dapat mempengaruhi alur cerita. Tidak hanya itu, era digital juga menstimulasi berkembangnya novel grafis. Hal tersebut menunjukkan bahwa sastra dapat berkembang dan beradaptasi dengan medium baru.

Baca juga:  Adaptasi Siswa SMK terhadap Perkembangan Teknologi: Perspektif Pengajaran dan Pembelajaran

Namun, era digital juga membawa tantangan. Salah satunya adalah masalah hak cipta dan pembajakan. Kemudahan berbagi karya digital membuatnya lebih rentan terhadap pembajakan, yang merugikan penulis dan penerbit. Selain itu, ada juga masalah kualitas dan kurasi, mengingat banyaknya konten yang dihasilkan dan dibagikan secara daring. Tantangan dalam penerjemahan dan kontekstualisasi karya sastra juga tidak kalah menantang. Sebab, era digital juga memfasilitasi globalisasi sastra. Karya-karya dari berbagai negara dan budaya menjadi lebih mudah diakses oleh pembaca internasional. Ini memperkaya pengalaman membaca dan memperluas wawasan budaya, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam penerjemahan dan kontekstualisasi budaya dari karya sastra asing ke domestik.

Menghadapi tantangan-tantangan tersebut, maka diperlukan literasi digital. Adapun yang dimaksud literasi digital tidak hanya berarti kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga melibatkan kemampuan kritis untuk menilai informasi. Pembaca harus mampu membedakan antara sumber yang kredibel dan tidak, serta memahami konteks dan bias yang mungkin ada dalam teks digital. Namun, ditengah segala tantangan dan perubahan digitalisasi tersebut, peran sastra sebagai cermin sosial tetaplah sama. Karya sastra terus mengeksplorasi tema-tema kemanusiaan, sosial, dan politik yang relevan. Hanya saja, dalam era digital ini, karya-karya sastra dapat menyebar lebih luas dan lebih cepat untuk mempengaruhi pemikiran dan menjadi diskusi publik.

Baca juga:  Membuka Jalan Baru dalam Dunia Cerpen dengan "Storyscaping"

Masa depan sastra di era digital penuh dengan potensi inovasi. Teknologi seperti kecerdasan buatan dan realitas virtual mungkin akan membuka cara-cara baru untuk menciptakan dan mengalami sastra. Namun, nilai-nilai dasar sastra, seperti; imajinasi, empati, dan eksplorasi makna hidup akan selalu tetap relevan.

Pada akhirnya,  Era digital membawa transformasi besar dalam budaya literasi, menawarkan peluang dan tantangan yang unik. Meskipun teknologi mengubah cara kita mengonsumsi dan memproduksi sastra, esensi dari sastra itu sendiri tetap bertahan. Dengan adaptasi yang tepat, sastra dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat di masa depan.

Ahmad Jum'a Khatib Nur Ali

Dosen Universitas Gunadarma

Leave a Reply