
Di sebuah sudut pesisir utara Jawa Barat, tepatnya di Desa Bulak, Jatibarang, Indramayu, sekelompok generasi muda tengah menapaki jejak budaya leluhur yang nyaris terpinggirkan oleh derasnya arus modernisasi. Tujuh penari muda, rata-rata duduk di bangku kelas dua SMP, dengan semangat menggebu mengikuti pelatihan tari bertajuk Manuk Bulak—sebuah upaya rekonstruksi dan revitalisasi seni kerakyatan yang merepresentasikan denyut nadi dan identitas masyarakat Bulak.
Pelatihan ini merupakan bagian dari pengabdian masyarakat yang diinisiasi oleh tim dosen Program Studi Pendidikan Tari, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Di bawah bimbingan Dr. Deden Haerudin yang tak hanya bertindak sebagai ketua, tetapi juga bertanggung jawab penuh dalam pengemasan artistik pertunjukan, anak-anak desa diajak menyelami akar budaya mereka sendiri melalui ragam gerak yang tak hanya indah, tetapi juga sarat makna. Indra Permadi Mayada memegang peranan sebagai pelatih tari yang sabar membimbing para siswa mengekspresikan tubuh mereka dalam bahasa gerak yang hidup, sementara Ojang Cahyadi menghadirkan iringan musik yang segar, memadukan irama tradisional dengan sentuhan orisinalitas yang menyesuaikan dengan jiwa generasi muda. Di sisi lain, Fachri Helmanto berperan sebagai pakar kreativitas anak yang memastikan pelatihan ini tetap ramah, inklusif, dan sesuai dengan fase perkembangan kognitif anak-anak.
Tujuh siswa yang terlibat dalam pelatihan ini—Sri Indriyani, Cika Angelita, Waqiah Khoirun Nisa, Shafa Permata Zahara, Selsy Nurcahyani, Zhahira Rahmawati, dan Akhmad Muttakin—merupakan remaja-remaja belia yang masih berada dalam rentang usia anak menurut teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Pada fase ini, mereka tengah berkembang dari cara berpikir konkret menuju abstrak, dan di sinilah seni—terutama tari—menjadi alat efektif untuk membantu mereka memahami identitas diri, lingkungan sosial, dan bahkan narasi budaya yang lebih besar.
Tarian Manuk Bulak lahir dari riset budaya yang mendalam, mengangkat elemen-elemen khas Desa Bulak mulai dari tradisi lokal, kisah mitologi, hingga keseharian masyarakat yang berpadu harmonis dalam satu komposisi. Gerak-gerak dasar yang diajarkan bukan sekadar teknik, melainkan medium penyampaian cerita yang merawat kearifan lokal dan memperpanjang nafas tradisi. Ada tiga blok besar yang membentuk karakter tari ini: Topeng, Sintren, dan Waru Doyong.
Pada sesi Topeng, penari diperkenalkan dengan gerakan-gerakan penuh tenaga dan karakter: Bukaan, Adeg-Adeg Koma Sumpingan, Ongkrak, Gibas Sampur, Peralihan, hingga Obah Bahu Geser Puter. Gerakan ini berakar pada tradisi topeng pesisir yang kaya dengan simbol kekuatan, keteguhan, sekaligus keluwesan.
Rangkaian Sintren membawa peserta ke dunia mistik yang memadukan unsur kepercayaan dengan ekspresi tubuh. Di sinilah mereka berlatih gerakan seperti Peralihan Variasi 1 dan 2 dengan kacamata khas Sintren, Mincid Obah Bahu, Mincid Bungbang, hingga Mincid Kepret Sampur. Sintren selalu menyisakan ruang bagi spiritualitas dan misteri, mempertemukan tubuh, jiwa, dan musik dalam harmoni yang magis.
Blok terakhir, Warung Doyong, menjadi simbol sosial yang riang namun filosofis. Gerakan-gerakan seperti Muter Peralihan (Muka Kacamata), Mincid Ukel Variasi, Geol Mundur Kiri Kanan, hingga Mincid Tapak Bulak Balik adalah metafora kehidupan sehari-hari masyarakat Bulak. Ia memotret bagaimana ruang sosial seperti warung—tempat bercengkerama, berbagi cerita, dan bersenda gurau—menjadi panggung kecil bagi ekspresi budaya. Gerak dalam blok ini lebih cair, dinamis, menghadirkan tawa tanpa kehilangan kedalaman makna.
Pelatihan ini tidak hanya mengajarkan gerak, tetapi juga memperkenalkan anak-anak pada konteks budaya yang menjadi latar bagi tarian tersebut. Manuk Bulak bukan tarian yang lahir dari ruang kosong. Ia berakar dari kisah monyet keramat di Situs Buyut Banjar, dari ikon Mangga Gedong Gincu yang menjadi kebanggaan Indramayu, serta dari tradisi-tradisi sosial seperti Grebeg Mangga dan arak-arakan Singa Depok. Semua elemen ini berpadu menjadi cerita yang divisualisasikan dalam gerakan.
Yang membuat pelatihan ini berbeda adalah semangat revitalisasi yang diusung. Tarian ini bukan sekadar dipelajari agar bisa dipentaskan, melainkan agar bisa dihidupi. Setiap langkah kaki, setiap gerakan tangan, adalah cara bagi anak-anak untuk menapaki jejak sejarah mereka sendiri. Dengan pendekatan partisipatif yang mendorong mereka memahami makna di balik tiap gerak, pelatihan ini berubah menjadi ruang pendidikan budaya yang tak hanya mendidik tubuh, tetapi juga membentuk karakter.
Perlahan namun pasti, anak-anak yang semula asing dengan dunia tari mulai menemukan ritme mereka sendiri. Tubuh yang kaku mulai lentur, langkah yang ragu mulai mantap, dan wajah-wajah yang canggung berubah menjadi pancaran keyakinan. Setiap tetes keringat, setiap kelelahan, menjadi bagian dari perjalanan personal dan kolektif menemukan identitas diri melalui medium seni.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kang Asep, seorang budayawan setempat, “Seni tidak boleh terputus dari akar. Kalau generasi muda tidak kenal lagi dengan topeng, sintren, atau kisah monyet keramat, kita bukan sekadar kehilangan tari, tapi kehilangan jati diri.”
Manuk Bulak, dengan segala kesederhanaannya, telah menjadi rangsang budaya. Ia adalah metafora: tentang burung yang terbang membawa pesan dari masa lalu ke masa depan. Tarian ini mengajak generasi muda Desa Bulak untuk tidak melupakan asal-usul mereka, sekaligus menantang mereka untuk membawanya terbang lebih tinggi, menyeberangi batas zaman, tanpa pernah kehilangan akar.
