
Sabtu, 5 Juli 2025, lebih dari dua ratus partisipan dari berbagai penjuru ruang akademik berkumpul dalam sebuah forum daring yang tidak biasa: International Seminar on Humanity, Education, and Language (ISHEL) 2025. Seminar ini bukan sekadar agenda tahunan atau ritual ilmiah formal—ISHEL adalah hasil kerja intelektual bersama, yang sejak awal dirancang untuk menghidupkan percakapan lintas disiplin antara kemanusiaan, pendidikan, dan bahasa dalam konteks global.
ISHEL 2025 merupakan inisiatif dari mahasiswa Program Magister dan Doktoral Linguistik Terapan, Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang tumbuh dari gagasan visioner Prof. Dr. Endry Boeriswati, M.Pd., Koordinator Program Studi Linguistik Terapan. Bagi Prof. Endry, ISHEL bukan hanya ruang presentasi, tetapi ruang gerak gagasan—tempat mahasiswa belajar menjangkau dunia dengan riset mereka, dan tempat institusi menunjukkan posisi strategisnya dalam kancah ilmiah internasional.
Dukungan kelembagaan pun hadir kuat. Direktur Sekolah Pascasarjana UNJ, Prof. Dr. Dedi Purwana, M.Bus., menyambut langsung pembukaan seminar ini. Dalam pidatonya, beliau menyampaikan bahwa ISHEL adalah bentuk nyata kontribusi akademik terhadap tantangan global, khususnya dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Beliau menyebut seminar ini sebagai ruang diseminasi, penguatan jejaring, dan upaya konkret dalam menjadikan pendidikan dan kemanusiaan sebagai fondasi masa depan yang inklusif.
Di bawah arahan akademik Dr. Reni Nur Eriyani, seminar ini disusun secara sistematis, dengan dukungan penuh dari para mahasiswa yang tergabung dalam tim pelaksana. Fachri Helmanto, M.Pd., memimpin jalannya seluruh rangkaian kegiatan sebagai ketua pelaksana, dengan koordinasi yang rapi dan atmosfer partisipatif. Sementara Wuwuh Andayani, M.Pd., tampil sebagai moderator utama yang menjembatani dialog antara narasumber dan peserta dengan ketepatan dan kepekaan.
Sejak sesi pembuka, intensitas diskusi sudah terasa. Narasumber pertama, His Excellency Yaser Elshemy, Duta Besar Mesir untuk Indonesia, menyampaikan special remarks yang membuka horizon diplomatik dari peran pendidikan dan nilai-nilai kemanusiaan lintas budaya. Beliau menggarisbawahi pentingnya menjadikan pendidikan sebagai jalan tengah yang menghubungkan bangsa-bangsa, bukan sekadar alat pembangunan nasional.

Dari Singapura, Assoc. Prof. Dr. Moh Aidil Subhan membawakan materi berjudul “AI & the Humanities in a Future-Ready Education Phase.” Paparan ini membangkitkan banyak pertanyaan penting—bagaimana teknologi yang tumbuh cepat dapat bersanding dengan nilai-nilai humanistik, dan apa yang sebetulnya harus kita jaga dari pendidikan ketika data dan kecerdasan buatan mulai mengambil alih banyak ruang.
Sesi ditutup oleh Assoc. Prof. Dr. Yusri bin Kamin dari Universiti Teknologi Malaysia, yang membawa pengalaman konkret dari dunia pendidikan guru di Malaysia. Alih-alih membahas teori semata, beliau mengajak peserta untuk merenungkan posisi guru di tengah kurikulum yang terus berubah dan masyarakat yang semakin kompleks.
Tapi puncak dinamika justru terasa di sesi paralel. Dalam sembilan ruang virtual yang berlangsung serempak, 175 pemakalah dari berbagai jenjang tampil mempresentasikan kontribusi utama dari riset mereka. Masing-masing hanya diberi lima menit. Tidak ada waktu untuk memutar latar belakang terlalu lama. Langsung pada kontribusi pengetahuan. Langsung pada temuan.
Respons dari para pemakalah sangat positif—dan tak jarang disertai rasa lega sekaligus tantangan. Salah satu komentar yang mencuat adalah: “Acaranya bagus, tidak bertele-tele. Tantangan banget bagi kami para pemakalah untuk langsung bicara soal kontribusi penelitian.” Komentar lain menyusul: “Formatnya efisien tapi tetap akademik. Kami harap ISHEL ada lagi tahun depan.”
Format seperti ini ternyata membuka cara baru dalam mendiseminasikan ilmu: ringkas, fokus, dan tetap memicu diskusi. Banyak peserta mengaku merasa lebih terhubung dan lebih menghargai tiap gagasan karena disampaikan secara tajam dan langsung.
Dari seluruh rangkaian kegiatan, ISHEL 2025 akan menghasilkan prosiding ilmiah resmi, peluang publikasi lanjutan, dan potensi kolaborasi riset yang sedang dijajaki lintas institusi. Tapi di luar itu semua, yang lebih penting: kegiatan ini telah membuka ruang bagi mahasiswa, dosen, dan peneliti untuk saling mendengarkan, berbagi, dan menyusun ulang peta pemikiran mereka tentang kemanusiaan, pendidikan, dan bahasa.
ISHEL bukan penutup, ISHEL adalah penanda arah. Dari sini kami belajar bahwa forum-forum seperti ini bukan hanya tentang luaran akademik, melainkan tentang bagaimana ilmu bisa hadir di ruang yang terbuka, kritis, dan saling memberdayakan. Kami percaya bahwa dunia akademik tak bisa lagi berjalan dalam sekat—ia harus hidup, bergerak bersama, dan menjawab zaman dengan gagasan yang bisa dirasakan manfaatnya.
Bila Anda merasakan denyut yang sama—bahwa kemanusiaan, pendidikan, dan bahasa saling berkelindan dan layak diperjuangkan—maka kami undang Anda untuk menjadi bagian dari keluarga akademik Program Magister dan Doktoral Linguistik Terapan, Sekolah Pascasarjana UNJ. Di sini, kami tidak sekadar menyusun kurikulum dan menerbitkan luaran. Kami merancang proses, menumbuhkan diskusi, dan menciptakan ruang seperti ISHEL—ruang di mana bahasa tidak hanya dibicarakan, tapi digunakan untuk membangun makna bersama.
Karena kami yakin, ilmu pengetahuan yang paling berdampak adalah yang tumbuh dari dialog, dijalankan dengan kesadaran, dan terus mencari bentuk terbaiknya di tengah masyarakat.
Sampai jumpa di ISHEL berikutnya. Mari tumbuh bersama, dalam ilmu yang berpihak pada manusia.

