“Aduh”: Pertunjukan Tanpa Batas Waktu oleh Putu Wijaya dan Teater Mandiri

Putu Wijaya dan Teater Mandiri kembali hadir dengan karya klasik mereka, “Aduh”, di Komunitas Salihara. Meskipun naskah ini sudah berumur 50 tahun, kehadiran penonton yang antusias, termasuk mereka yang telah berulang kali menikmati pertunjukan ini, membuktikan bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam karya ini. Mereka datang bukan karena nostalgia musik dari DKSB Harry Roesli, yang sudah wafat 10 tahun lalu, tetapi karena kekuatan narasi dan kemampuan Putu Wijaya dalam menciptakan teror di atas panggung.

Pada pertunjukan sore di Salihara pada Minggu, 12 Mei 2024, unsur teror tetap kuat. Selain naskah dan pemain yang hebat, penggunaan layar hitam besar yang digerakkan serta permainan lighting menambah kedalaman suasana. Menonton dan membaca karya Putu, penonton seakan merelakan diri diteror oleh cerita yang tidak mementingkan alur atau kronologis adegan, tetapi lebih pada refleksi karikatural masyarakat.

Cerita “Aduh” bermula dengan kedatangan seorang pria terluka di tengah sekelompok pekerja. Alih-alih langsung membawanya ke rumah sakit, mereka mempertanyakan motif di balik luka tersebut, teringat pengalaman tertipu sebelumnya. Dialog-dialog yang dilontarkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa isyarat, tidak mendapatkan jawaban dari pria tersebut. Keraguan merajalela di antara para pekerja, bahkan hingga meragukan jenis kelamin pria yang jelas-jelas adalah seorang pria.

Baca juga:  Matara Production dari Universitas Negeri Jakarta Memenangkan Lomba Teater Miss Tjitjih 2023 dengan Kuntilanak Sumur Tua

Ketidakpercayaan dan perdebatan terus berlanjut hingga pria tersebut meninggal dunia. Ironisnya, alih-alih menyelesaikan masalah, kematiannya justru menimbulkan persoalan baru: mereka bisa dituduh telah melakukan pembunuhan karena tidak segera membawanya ke rumah sakit. Di akhir pertunjukan, situasi serupa terulang kembali, menekankan pesan bahwa rumusan dan reaksi manusia terhadap masalah seringkali tetap sama.

Di balik kisah yang penuh dengan teror dan keraguan, kekuatan akting para pemain sangat menghibur. Jose Rizal Manua, yang akan berusia 70 tahun pada September, menunjukkan dedikasi luar biasa dalam perannya. Para pemain menunjukkan watak manusia yang universal: saling menyalahkan, mencuri, dan berusaha mencari jawaban dalam ketidakpastian.

Dua jam pertunjukan berlalu tanpa terasa, dengan dialog yang lancar dan memikat yang membuat penonton terus berpikir. Keahlian Putu Wijaya dalam menghidupkan naskah klasik ini tidak diragukan lagi. Meskipun tampil di kursi roda, semangat dan energinya terpancar ketika mengucapkan terimakasih kepada Salihara dan Goenawan Mohamad.

Sebagai salah satu penonton yang hadir, saya merasa terharu dan berterima kasih kepada Putu Wijaya. Ucapan selamat saya berikan di atas panggung, merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Tepuk tangan panjang yang bertalu-talu dari penonton menjadi penutup sempurna untuk malam yang penuh inspirasi dan refleksi.

Baca juga:  Pentingnya Analisis Kebutuhan Masyarakat dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN)

“Aduh” bukan hanya sekedar pertunjukan, tetapi sebuah cerminan tentang ketidakpastian dan keraguan yang sering kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Karya Putu Wijaya ini akan terus hidup, mengajak penonton untuk selalu berpikir dan merasakan, tanpa batas waktu.

Fachri Helmanto

Dosen Universitas Djuanda, Editor dan Penulis

Leave a Reply