
Di sebuah studio sederhana yang bernafas di tengah keseharian masyarakat Desa Bulak, Jatibarang, Indramayu, deret nada perlahan terjalin menjadi sebuah simfoni yang bukan hanya memanggil ingatan, melainkan juga memanggil masa depan. Di ruangan inilah, denting dan tabuhan, bisik dan gema, bersekutu membangun iringan tari Manuk Bulak—sebuah ruh musikal yang menjadi denyut nadi pertunjukan.
Garapan musik ini dipimpin oleh Ojang Cahyadi, M.Pd., dosen Prodi Pendidikan Tari Universitas Negeri Jakarta, yang memegang peran sebagai ketua pendampingan iringan tari dalam program pengabdian masyarakat ini. Namun perjalanan kreatif ini tidak ia tempuh seorang diri. Bersamanya, hadir Dr. Deden Haerudin, Indra P. Mayada, dan Fachri Helmanto—tiga sosok yang masing-masing membawa cahaya kepakarannya, bersatu dalam satu misi: membangkitkan semangat budaya Desa Bulak melalui seni pertunjukan yang utuh.
Ojang, dengan kepekaan musikal dan penguasaan irama lokal, menahkodai proses komposisi musik, menjaga agar setiap nada tetap berpijak pada akar tradisi. Dr. Deden Haerudin, yang dikenal dengan ketajaman artistik dan pengalaman panjang di bidang seni pertunjukan, menjadi pengarah estetika, memastikan bahwa musik bukan hanya mengiringi, tetapi juga memperkaya makna tari secara keseluruhan. Indra P. Mayada, sebagai pelatih tari, membawa perspektif koreografis yang tajam, menerjemahkan kebutuhan gerak ke dalam kebutuhan musikal yang seimbang dan harmonis. Sementara Fachri Helmanto, dengan kepakarannya dalam kreativitas anak, menjaga agar hasil akhirnya tetap ramah dan dapat dipahami, dinikmati, serta diresapi oleh para penari muda yang menjadi tulang punggung pertunjukan ini.
Bersama mereka, hadir pula tim pendukung: Ganjar, Galuh, Damong, Ule, Imas, dan Sri—yang memperkuat kerja kolektif ini dengan keahlian dalam instrumen, olah suara, dan warna lokal.
Proses penciptaan dimulai dengan satu keyakinan: bahwa iringan musik bukan pelengkap, melainkan ruh dari setiap gerak. Musik harus menjadi jembatan antara tubuh dan cerita, antara ruang dan ingatan. Maka, bagian demi bagian dikerjakan bukan hanya dengan akal, tetapi dengan rasa dan kesabaran.
Garapan diawali dengan merancang Overture—sebuah pembuka yang memadukan unsur melodis dan ritmik untuk membangun atmosfer. Bunyi-bunyian khas pesisir, seperti petikan kecapi, tiupan seruling, dan tabuhan kendang, dirangkai untuk menghadirkan cita rasa lokal yang mengalun namun tetap kuat.
Dari sana, iringan mengalir ke bagian Topeng, yang disusun dengan gaya khas Indramayu: irama kendang yang padat, tempo yang terjaga, dan melodi yang mengayun, menegaskan karakter lincah namun bermartabat. Deden dan Indra bekerja bersama Ojang agar bagian ini tidak hanya menegaskan kekuatan gerak, tetapi juga menciptakan narasi visual yang dapat ‘dibaca’ oleh penonton.
Bagian Rudat menawarkan wajah lain. Sebagai representasi seni Islam di pesisir Indramayu, irama rebana yang kaya dan bersahut-sahutan menjadi tulang punggung. Di sinilah kontribusi Galuh dan Damong menjadi nyata, menghidupkan pola ritmik yang mampu memunculkan energi dan semangat, namun tetap menjaga kehalusan yang khas.
Tantangan tertinggi hadir pada garapan Sintren. Bagian ini menuntut iringan yang mampu menghadirkan aura spiritual dan magis tanpa kehilangan aksesibilitasnya. Di sinilah Deden menyumbangkan visinya untuk membangun atmosfer mistik yang kuat, sementara Ojang dan Ule menciptakan lapisan-lapisan bunyi yang nyaris transenden. Musik Sintren tidak hanya mengiringi, tetapi mengikat—menciptakan sensasi keterhubungan antara tubuh penari, ruang, dan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia.
Puncaknya, iringan berlabuh di Waru Doyong—penutup yang riang dan membumi. Di sinilah keberanian untuk bermain muncul. Musik bergeser ke gaya koplo kaleran atau panturaan, menghadirkan tempo cepat, ritme yang menghentak, dan melodi yang mengundang tawa dan kegembiraan. Fachri memastikan bagian ini tetap ramah dan menyenangkan bagi anak-anak, menutup perjalanan musikal ini dengan semangat kebersamaan khas masyarakat pesisir utara Jawa.
Sepanjang proses, diskusi, perdebatan, dan tawa menjadi bagian dari anyaman kreatif. Tak jarang, ide-ide liar muncul hanya untuk diolah kembali menjadi bentuk yang lebih terarah. Bagi Ojang dan tim, setiap bagian musik bukan sekadar rangkaian nada, melainkan simbol-simbol budaya yang dihidupkan kembali. Mereka tidak sekadar menciptakan musik, tetapi menggali memori kolektif dan menulis ulang kisah kampung halaman dalam bahasa bunyi.
“Musik harus lebih dari sekadar pengiring. Musik harus menyentuh, memanggil, dan menghidupkan,” ujar Ojang Cahyadi di tengah salah satu sesi diskusi. Pernyataan itu menjadi landasan filosofis yang menjiwai seluruh proses.
Garapan musik Tari Manuk Bulak lahir bukan dari ruang kosong, tetapi dari proses kolaboratif yang menghormati akar, memberi ruang bagi eksperimen, dan memeluk keberagaman ekspresi. Ia adalah suara yang menyeberang waktu: menghormati masa lalu, berbicara pada hari ini, dan menggamit masa depan.



